Laut bukan hanya urusan nelayan atau pemerintah. Ia menyangkut kehidupan semua orang yang bergantung pada pesisir seperti pelaku UMKM, wisatawan, perempuan pengolah hasil laut, hingga generasi muda yang kelak mewarisi bumi ini.

Akademisi
Maluku Utara terdiri dari lebih dari 900 pulau, 10 kabupaten dan kota, 118 kecamatan, dan 1.185 desa dan kelurahan. Sebagian besar wilayah ini adalah desa-desa pesisir dan lebih dari 90 persen penduduknya hidup dalam interaksi langsung dengan laut. Sadar atau tidak, laut bukan hanya menjadi latar belakang geografis, tetapi juga nadi kehidupan masyarakat Maluku Utara.
Pulau-pulau kecil seperti Maitara menyimpan kekayaan hayati laut yang luar biasa. Namun, kekayaan ini juga menghadapi tekanan yang nyata. Terumbu karang rusak, limbah mencemari perairan, alat tangkap merusak masih digunakan dan kapasitas pengawasan formal kerap kewalahan.
Dalam kondisi ini, keberadaan Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) menjadi sangat strategis sebagai aktor lokal dalam menjaga laut. Sayangnya, banyak Pokmaswas yang hidup segan mati tak mau. Mereka dibentuk tanpa pendampingan, diberi pelatihan sekali lalu ditinggalkan.

Di sinilah pentingnya pendekatan seperti yang dilakukan oleh Pascasarjana Universitas Khairun melalui pelatihan Pokmaswas di Pantai Akebay, Pulau Maitara, pada 10-11 Mei 2025. Tidak sekadar melatih, kegiatan ini dirancang sebagai langkah awal menuju pendampingan jangka panjang yang konsisten.
“Kegagalan sering terjadi karena program tidak berkelanjutan,” kata Dr. Tamrin yang menjadi fasilitator dalam kegiatan tersebut. Ia menekankan pentingnya melihat pengabdian kepada masyarakat sebagai proses bukan proyek.
Menurutnya, perubahan perilaku tidak datang dari ceramah satu arah, tetapi dari pendampingan yang sabar dan konsisten. Karena itu, ia mendorong agar pengukuhan Pokmaswas Akebay yang direncanakan pada Juli nanti bertepatan dengan Festival Akebay, bukan hanya menjadi seremoni, tetapi peneguhan komitmen semua pihak untuk mendukung pengawasan partisipatif.
Pokmaswas adalah entitas yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat. Mereka memegang tanggung jawab penting yakni mencegah penangkapan ikan ilegal, melaporkan penggunaan alat tangkap yang merusak, memantau kerusakan ekosistem, hingga menyebarluaskan pemahaman hukum di tengah masyarakat. Dalam banyak kasus, merekalah satu-satunya “mata dan telinga negara” di kawasan pesisir yang jauh dari jangkauan aparat formal.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan tantangan besar. banyak Pokmaswas mati suri karena minim pendampingan. Sebagian tak memahami peran karena belum pernah dilatih. Banyak pula yang hanya aktif sebentar karena dianggap proyek sesaat. Inilah yang ingin diubah. Komitmen Unkhair untuk tidak hanya melatih, tetapi juga mendampingi Pokmaswas Akebay secara berkelanjutan patut diapresiasi dan dijadikan contoh.